Senin, 28 Oktober 2013

Berawal Dari Iseng, Dapet Cerita Kecil Dari Tanah Papua...

Satu hal yang gue heran, kenapa lama gak nulis di blog pasti ada aja kejadian yang aneh. Beberapa bulan lalu gak nulis, banyak sarang laba-laba di beranda akun blogger gue, dan sekarang ada orang tiduran di atas kardus. Mau ngusir gak enak, "mas, maaf saya mau nulis, boleh permisi bentar?", kan kasian. Yaudahlah ya, yang penting hari ini nulis.

Parahnya lagi, banyak banget hal yang ingin gue share dengan pembaca sekalian. Mulai dari perjalanan gue di awal semester 3 yang belum-belum udah banyak banget ceritanya, mulai dari gue bertemu temen-temen yang beraneka ragam, mulai pengalaman baru yang belum pernah gue coba, dapet dosen yang benar-benar super banget bahkan sampe sekarang. Nah, untuk hari ini gue mau cerita aja soal buah keisengan gue hingga mendapatkan pengalaman berharga. Jangankan emas, embak pun kalah berharganya.

Hari ini spesial banget, karena saat gue nulis ini (28 Oktober) bertepatan dengan hari sumpah pemuda (please, jangan paksa gue untuk nulis dengan gaya bahasa naskah sumpah pemuda tempo doeloe. Tahu kenapa? karena itu lumayan cape' ya tapi yang penting itu bukan gaya bahasanya, tapi makna dari sumpah pemuda itu sendiri. Sedap.) :)

Momentum sumpah pemuda ini juga bertepatan dengan UTS yang bentar lagi akan gue hadapi. Iya, ujian tengah semester di semester ke-3, yang mana di kampus sekarang gue punya adik dan juga masih harus jadi adik angkatan atau adik tingkat. Lain waktu gue akan share pengalaman jadi posisi tingkat kedua di kampus, tapi nanti.

Izinkan gue untuk mengingatkan kembali apa aja isi dari sumpah pemuda itu (karena nanti akan berhubungan loh)

PertamaKami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
KeduaKami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Kalo ditanya hafal atau engga, jujur gue kurang hafal teks di atas tapi untuk maknanya Insya Allah gue cukup mendalam soal itu. Asik, sumur kali mendalam. Tapi serius, makna itu betul-betul terasa saat gue bertemu mereka:


Awalnya dimulai ketika negara api menyerang  gue selesai praktikum dengan masih menggunakan baju bergaya orang kantoran + dasi, ditambah dengan id card ala karyawan juga gue mengarah ke parkiran. Oh iya, gaya pakaian ini memang harus gue kenakan di beberapa mata kuliah khusus seperti Komunikasi Bisnis, dan Hubungan Masyarakat. Tapi itu akan kita bahas lain waktu (kan, PR lagi buat gue, semangat buat nulis! :D)

Niatan gue ke parkiran adalah untuk ngambil motor yang hari itu di parkir di tempat yang gak biasa. Gue parkir bukan di lapangan parkir utama tempat biasa gue parkir, gue parkir di dekat tempat mahasiswa peternakan, perkebunan, dan gizi kuliah dan praktikum. Kebetulan saat itu gue harus nganter Bhre temen gue untuk ke kolam perikanan buat praktikum, so sekalian aja.

Motor berhasil gue bawa keluar, sebelumnya juga gue dan beberapa temen (baca: komplotan) lainnya udah mengatur rencana untuk makan dan ngobrol-ngobrol bentar di kantin yang dikenal dengan kantin pintu 4 (letaknya dekat dengan pintu 4 kampus, padahal pintu 4-nya dimana, kantinya dimana. Entahlah)

Berhubung gue beda sendiri parkirnya, Eca, Febri, Inka, Silvi teman gue yang ingin mengambil motor telah berangkat duluan ke parkiran utama. Akhirnya gue melintas di depan parkiran utama, rupanya mereka belum ngambil motor karena ada urusan dulu, tapi! Perhatian gue berpaling ke Aqilah, adik kelas gue yang terduduk di pinggir jalan depan parkiran itu.

Aqilah ini adik tingkat, di program keahlian (jurusan) yang sama dengan gue, dan kami satu ekstrakulikuler di kampus. Dia pasti ingin shoot film untuk keperluan lomba ekskul kami. Gue menepi dan memberi instruksi ke motor gue. (motor, Meneepi.... menepilah..... *lalu galau) lantas gue berhenti sebentar.

Basa-basi paling umum di Indonesia, ketika melihat orang lagi sendirian, mereka akan melancarkan kata-kata yang paling biasa. Sialnya, itu gue gunakan untuk menyapa Qila (panggilan Aqila)

"Qila, kok sendirian aja?" - Alfian berkata.
" ini lagi nunggu ka Alif, (temen seperjuangan gue yang juga sama jurusannya dengan gue) ke Malabar" (salah satu jalan terkenal di daerah sekitar kampus, kalo di Singapura ini adalah Orchard road. berisi kost-kostan, rumah makan berbagai harga, warnet, fotocopy-an, dan laundry) Qilla menjawab
 "yaudah kakak duluan ya" gue langsung pergi ke pintu 4 setelah dia mengangguk.
Ternyata, di pintu 4 belum ada temen-temen gue, setelah gue sms, telpon, kirim surat via merpati mereka tidak membalas. Gue putuskan untuk kembali ke parkiran utama, ternyata mereka udah pergi dan Aqilah masih duduk disana.

Tempat duduk Aqilah bukan tempat yang pas buat berhenti menggunakan motor, karena persis di belakangnya ada tanda dilarang "S" diperparah, di belakangnya lagi ada kantor Satpam kampus yang mana gue bakal jadi sasaran empuk ditegur kalo berhenti disana. Gue putuskan untuk masuk ke parkiran utama, dan menuju ke tempat Aqilah (niatnya cuma iseng mau ngobrol) <- Nih, dari sini keisengan mulai, sambil menunggu kabar dari pintu 4.

Ngobrol dikit, si Alif datang dan entah gimana ceritanya mungkin gue kena hipnotis si Alif, gue jadi ngikut ngambil gambar teman Zia yang orang Papua ( Zia ini adik kelas gue yang lainnya, satu tim dengan Alif dan Aqilah) ke Malabar. Sialnya, Alif gak sadar kalo gue mengiyakan, dia ninggalin gue, dan beruntung kami bertemu lagi.

Singkat cerita, gue masuk ke daerah rumahnya lebih dalam lewati gang-gang kecil. Damn! suasananya enak banget, perkampungan dengan tawa riang anak-anak, kontur perbukitan yang cantik walaupun masih dihalau rumah-rumah penduduk, ada masjid di tengahnya, dan suasana ini selalu bikin gue rindu karena ini dekat banget suasananya dengan masa kecil gue. Alhasil, kami sampai di kostan mereka.

Zia ini membawa seorang pemuda Papua namanya Christian, tebakan gue dia adalah adik tingkat juga karena dia kenal betul dengan Zia. Ternyata, Christian tadi bersama teman-teman dari Papua lainnya yang ada di dalam satu kost meski berbeda umur, dan ada yang paling tua disana (yang menggunakan kupluk pada gambar).

Ini mereka lagi dishoot, dan berbagi cerita
Awalnya agak takut bagi Zia dan Aqilah bertemu dengan mereka. Beda dengan gue, di kost gue dan Bhre ada Bang Gery dan Bang Rio yang berasal dari Maluku. Mereka ini perawakannya mirip dan Alhamdulillah, sejauh ini hubungan antar tetangga kost baik-baik aja.

Maaf, gue lupa nama yang berkupluk itu, tapi sepanjang wawancara gue kaget. Respon mereka begitu baik, bahkan sangat welcome dengan kami. Mereka dengan semangat menceritakan bagaimana keadaan Papua yang sebenarnya, bagaimana mereka menghadapi perbedaan dengan orang Bogor khususnya. Mereka juga bercerita, bahwa mereka sering menghadapi masalah bersama. Keren.

Gue terlalu serius, memerhatikan mereka karena cukup kagum dan banyak fakta menarik walaupun hanya sedikit waktu yang kami beri (mengingat, tim Alif punya kebutuhan shoot gambar di tempat lain).

Tahu gak? ternyata, pemuda-pemuda yang ada di dalam foto di atas bilang kalo di antara mereka sukunya berbeda-beda walaupun berasal dari tanah yang sama, tanah Papua. Ia menceritakan bahwa

"Kalau dari tempat saya e.. itu ke tempatnya Christian bisa satu hari, ke tempat dia (menunjuk baju kuning) satu malam, kami berbeda tempat tinggal. Termasuk yang di pesisir".

Cerita pun datang lagi, kehidupan mereka diisi kegiatan berburu (bukan ubur-ubur, tapi hewan di hutan). Ini sudah sangat umum di Papua, tapi ada juga yang hidupnya mencari ikan dari laut.

"Beda tempat tinggal juga berbeda bahasa kami, saya bahkan tidak bisa bicara dengan mereka ini kalo tidak pakai bahasa Indonesia" Wow! engga lebay, ini bener gue rasakan, ternyata makna Bahasa Indonesia sebagai bahasa Persatuan itu benar dalam.
KetigaKami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Bahasan ini emang udah sering banget dibahas orang lain, tapi gue baru melihat faktanya langsung dari pemuda-pemuda Papua ini, gue beruntung bertemu mereka.

Lanjut mereka bercerita dengan semangatnya, bahwa orang Papua itu pecinta damai, konflik yang sering terjadi, karena kekuatan kesukuan mereka masih sangat kental. Mereka hanya sering salah paham saja, tapi nyatanya kekerabatan antara mereka begitu kuatnya.

"e.. kalo satu orang uangnya habis, maka bukan kita pinjamkan tapi kita nikmati bersama-sama, ketika satu orang dapat masalah, kami disni juga punya masalah juga" begitu kuatnya kebersamaan mereka, sampe-sampe tulisannya jadi bold. :)

Lepas wawancara, kita pindah tempat, karena Zia meminta mereka menyanyikan semacam yel-yel dan pesan-pesan bagi penonton film dokumenter ini.

Walau tidak begitu hafal, mereka menyanyikan lagu "Apuse" begitu bernada, niat, begitu mendalam banget.

Setelah selesai mereka menutup dengan berteriak "SALAM PAPEDA! (Papua Pencinta Damai)"

Mereka juga berkesan yang rata-rata adalah ucapan terima kasih kepada kampus kami IPB, karena biasanya warga Papua sangat sulit mengakses pendidikan di kampus nasional, dan mereka sangat senang IPB menerima mereka. Tidak hanya itu, yang gak disangka oleh gue, mereka berterima kasih pada tim kami karena mau men-ekspose mereka, karena jarang loh narasumber mau berterima kasih kisah mereka diangkat. Mereka berterima kasih karena kami masih mau peduli dan ingin tahu yang sebenarnya. Gitu.

Gue dan tim pulang, dan akhirnya gue mengantongi cerita keren ini.

Menutup cerita ini, gue mengucapkan Salam Sumpah Pemuda, yakinlah bahwa semangat pemuda-pemuda Indonesia itu keren. Contohnya Ray Bima Satria Garuda dan...............Gue.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Fian Berbagi Tulisan Template by Ipietoon Cute Blog Design